POLEMIK PENG(AKU)AN KEWENANGAN DESA
![]() |
Foto : Dokumen Pribadi |
Indonesia memasuki fase neo-institusional[1] dimana strategi mendekatkan pihak pemerintah dan masyarakat beserta fenomenanya diterjemahkan dengan melahirkan institusi baru. Dalam ruang lingkup pemerintahan, institusi ini dapat berupa lembaga kelengkapan negara, sampai pada penjabaran sistem dan struktural pemerintahan dengan faktor penentunya yakni agregasi dan artikulasi kepentingan serta keterpenuhan kebutuhan konstituen (masyarakat negara).
Hal ini biasanya ditempuh dengan dua cara yakni melahirkan
lembaga/institusi baru, atau dengan mempertegas keberadaan lembaga/institusi
lama. Analisis ini menjadi tolak pikir penulis dalam melihat kelahiran desa
dengan atribut pengakuan (recognisi) yang mengikutinya.
Desa lahir sebagai sebuah
usaha penegasan dan penguatan akan pemenuhan demokrasi di aras lokal. Tujuannya
jelas yakni keputusan dan kebijakan yang dilahirkan merupakan produk yang
legitimatif, representatif, serta mengakomodir elemen kepentingan sampai pada
bagian terkecil. Logika ini yang kemudian ditantang Dr. Sunyoto Usman dengan
pertanyaan “apa sebenarnya batasan masyarakat?”[2].
Ketika mendekatkan diri dengan rakyat dipandang sebagai penambahan wadah
perpanjangan tangan pemerintah, maka penggemukkan institusi/lembaga baru tidak
akan usai dalam ruang dialektika. Ironisnya, kelahiran lembaga baru membuat ada
kewenangan lembaga lain yang terkurung, misalnya desa.
Di masa awal penerapan
Undang- undang desa, desa terjebak dalam rana konflik kewenangan. Tarik menarik
kewenangan di “lingkaran setan” kepentingan semakin lama semakin menegasikan
asas pengakuan terhadap keberadaan desa.
Desa dan kewenangannya
dimengerti sebagai pemberian pemerintah, bukan sesuatu yang seharusnya ada dan
pemerintah hanya menegaskannya kembali. Implikasinya, drama pembagian kue
kewenangan ini tak kunjung usai, ditandai dengan perubahan peraturan perundang-
undangan tentang desa yang terus bergulir.
Perang Kewenangan
Berbicara tentang UU
desa, seringkali kita menyoroti dua bagian penting yang mengikuti, yakni
pergeseran paradigma kewenangan desa dan perimbangan fiskal. Suka tidak suka,
kedua maskot UU Desa ini menjadi bargaining pemerintahan desa
dalam penyelenggaraannya di masa sekarang. Di sisi lain, kedua bagian ini
sangat riskan untuk ditunggangi. Dalam bagian ini, penulis ingin menilik posisi
tawar desa terhadap pemerintahan supra desa dalam agenda mempertahankan
kewenangannya.
Pertama, posisi tawar fiskal pemerintah pusat. Logika perimbangan
fiskal sebagai salah satu bentuk stimulan dalam merangsang kemandirian di aras
lokal (baca: desa) merupakan kartu pertama yang perlu dibedah dalam relasinya
dengan posisi tawar politik desa. Desa pada tahun 2015 mendapat kucuran dana
rata- rata 749,4 juta/desa, meningkat menjadi 1.183,1 juta/ desa pada 2016, dan
bertambah ke angka 1703,3 juta/ desa pada tahun 2017 (kemenkeu 2015). Pada tahun
2018, APBN yang dialokasikan untuk dana desa adalah sebesar 60 trilun rupiah,
sedangkan alokasi dana desa untuk tahun 2019 diprediksi maksimal akan berjumlah
85 triliun rupiah[3]. Bagi desa yang memperoleh lonjakan penerimaan dana secara
signifikan, dana ini akan menciptakan ketergantungan fiskal desa terhadap
negara.
Dengan ketergantungan yang ada, desa bukan lagi menjadi lokus penyelenggaraan kewenangan aslinya, tetapi melaksanakan kewenangan yang didikte pemerintah pusat.
Argumen diatas dapat
diperkuat dengan membandingkan cita- cita kemandirian desa dengan beberapa
dokumen berikut. Dalam naskah Permendes Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana
Desa Tahun 2018 pasal 4 menyebutkan bahwa prioritas penggunaan dana desa
adalah untuk: (1). Membiayai
pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan Desa danpemberdayaan
masyarakat Desa; (2).membiayai pelaksanaan program dan kegiatan
lintas bidang yakni kawasan perdesaan, BUM Desa/ BUM Desa Bersama, embung, dan
sarana olahraga desa sesuai dengan kewenangan desa. Sedangkan dalam RPJMN 2015-2019 dalam poin tentang desa mengamanatkan upaya
pengurangan kesenjangan antara desa dan kota dilakukan dengan mempercepat
pembangunan desa-desa mandiri serta membangun keterkaitan ekonomi lokal antara
desa dan kota melalui pembangunan kawasan perdesaan[4].
Hemat penulis, segala
yang diatur di dalam dokumen RPJMN ataupun dalam Permendes No. 19 Tahun 2017 merupakan bentuk intervensi negara dalam mendikte penggunaan dana
desa agar dapat menunjang tujuan nasional, mengesampingkan bukti empirik yang
terjadi di desa tersebut.
Di desa wisata Wae Rebo, NTT misalnya, warga desanya tidak menginginkan pembangunan infrastruktur (jalan raya) dengan argumentasi bahwa nilai jual budaya lokal daerah ini terletak pada filter pembangunan. Akses jalan dihindari sehingga pengunjung desa harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Dan dengan cara ini, desa tersebut terlihat elegan dengan budaya dan kewisataannya. Peruntukkan pembangunan sarana olahraga misalnya, kemudian terpaksa harus dimasukkan dalam APBDes sekalipun banyak kebutuhan lain yang lebih penting.
Realitas seperti diatas
memungkinkan prioritas penggunaan dana desa ataupun pembangunan nasional yang
telah digagas menjadi tidak relevan. Kondisi desa tertentu tidak memungkinkan
untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur, tetapi peraturan perundang-
undangan mengharuskan demikian. Apa yang menjadi posisi tawar pemerintah
pusat? Pertama, dana desa dan kedua, frasa “desa
dalam kerangka sistem pemerintahan NKRI”. Tentunya terlalu liberal ketika
berpikir bahwa desa harus memperoleh kewenangan luas (seperti konsep otonomi
luas). Akan tetapi, bukankah kerangka sistem tidak berarti mengerjakan program
dengan fungsi yang sama (seragam)? Pemberlakuan recognisi terhadap
desa bukan semata- mata dengan memberikan “pancing” (stimulus), tetapi juga
lebih kepada di kolam mana (wadah kewenangan) mereka harus memancing (Sutoro
Eko, Pemberdayaan Kaum Marginal: 2005).
Kedua, executive
rewiew Pemerintah Daerah.
Pemerintah daerah memiliki peranan cukup sentral dalam proses perencanaan desa.
Dalam pasal 69 ayat 4 Undang- undang No 6 Tahun 2014 berbunyi: Rancangan
Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata
ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari
Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa”. Secara
tersirat, bagian ini menjadi salah satu celah transaksi kepentingan antara
pemerintah desa dan pemerintah kabupaten/kota.
Di satu sisi, desa di mata
bupati/walikota dapat menjadi basis massa yang cukup penting dalam momentum
pemilukada. Kesempatan pemerintahan daerah dalam melakukan executive
review dalam tahapan penyusunan peraturan desa dapat menjadi
wadah deal politik yang baik. Relasi ini tentunya menjadi
celah bagi desa dalam mempertahankan kemurnian haknya sebagai bagian dari
sistem pemerintahan Indonesia, sekalipun dalam kondisi idealnya, relasi ini
diharapkan dapat menjadi garis kemitraan dalam upaya pengkoordinasian
pembangunan di aras lokal.
Memerangi Egosentrisme
Mensiasati
penyelenggaraan kewenangan yang terkadang kontraproduktif diantara elemen
pemerintahan di Indonesia perlu dilakukan dengan beberapa hal. Pertama,
pembenahan sistem pembagian kewenangan. Cita- cita pembangunan Indonesia dari
desa dalam Nawacita Presiden Joko Widodo menyiratkan bahwa pembagian kewenangan
perlu dilakukan dari bawah (buttom up) Pembagian ini dilakukan dengan
menerapkan sistem open and arrangement[5].
Artinya, pemerintah desa
dalam koridor subsidiaritas menetapkan kewenangan dan program yang mampu
dilakukannya dalam skala desa. Sisanya diberikan kepada pemerintahan supra
desa.
Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi kesenjangan dalam implementasi kewenangan desa dimana desa dengan
sumber daya yang ada mampu melaksanakan kewenangan yang ditentukan pemerintah
pusat. Selanjutnya gubernur (sebagai perwakilan pemerintah pusat) merumuskan
domain urusan penyelenggaraan pemerintahan desa dan kabupaten sebagai
pertimbangan pembagian kewenangan pusat- daerah dan pusat-daerah-desa.
Mekanisme executive
review pun harus mengikuti pola seperti diatas. Pada Juni 2016
misalnya terdapat 3.143 Perda bermasalah yang dibatalkan Kementrian Dalam Negri
(KPPOD 2016). Hal ini pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi di tingkatan
desa dengan menakanisme yang sama. Sebenarnya, executive review harus
dilakukan dengan kajian buttom up, bukan dengan sekedar dalih
“hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah”. Executive
review harus dimulai dengan pemerintah pusat turun
ke aras lokal dan mendengarkan kebutuhan, bukan pembatalan sepihak dengan dalih
undang- undang semata.
Kedua, keakuan dan keangkuhan. Pemerintah desa perlu menyadari bahwa urusan pemerintahan yang dimilikinya masih berada di dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah sebuah lokus pemerintahan yang terlepas dari pemerintahan lainnya, tetapi masih menjadi bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Pengakuan kewenangan desa bukan merupakan ancaman terhadap posisi politik pemerintahan kabupaten/kota, tetapi merupakan wadah kontribusi desa dalam pembangunan wilayah administrasi kabupaten.
Selain itu, pemerintah
pusat perlu memikirkan perubahan relasi antar kabupaten- desa dalam undang-
undang desa hampir bersamaan dengan perubahan relasi pemerintah
kabupaten-propinsi-pusat dalam Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Hemat penulis, perubahan serentak dalam penyelenggaraan
urusan kepemerintahan di berbagai level ini memerlukan braindstorming kewenangan
yang komprehensif. Ketika hal ini tidak dilakukan, maka setiap elemen
pemerintahan akan saling mencurigai keberadaan, dan berujung pada tarik menarik
kewenangan dan realitas konfliktual lainnya.
Hilarian Arischy
Hadur
Direktur PRO Change
Operator
[2] Usman Sunyoto, Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2008).
[3] Tempo.co pada (15/7): Penggunaan Dana Desa 2018 untuk program Padat Karya Tunai di Desa. Diakses pada (23/7) pukul 15.55 WIB
[4] Kutipan diakses melalui www.bpkp.go.id yang memuat dokumen RPJMN 2015-2019. Diakses pada 10/11/2016 pukul 19.53.
[5] Widjaja, Haw (2002). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Penulis mengartikan open and arrangement sebagai sistem dimana pemerintah (pusat) merincikan fungsi- fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah. Sisa dari rincian fungsi pemerintah tersebut menjadi kompetensi daerah otonom.
Catatan: Tulisan ini
pernah diikutsertakan dalam Lomba simposium HUT APMD Ke-49 Yogyakarta
[1] Budiardjo Miriam, “Berbagai pendekatan dalam Ilmu Politik” dalam
Dasar dasar ilmu Politik hal 72. Dalam buku ini, institusional dijelaskan
sebagai pendekatan yang digunakan dengan menggunakan kacamata konstitusional
yuridis dalam menganalisis fenomena sosial yang terjadi.[2] Usman Sunyoto, Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2008).
[3] Tempo.co pada (15/7): Penggunaan Dana Desa 2018 untuk program Padat Karya Tunai di Desa. Diakses pada (23/7) pukul 15.55 WIB
[4] Kutipan diakses melalui www.bpkp.go.id yang memuat dokumen RPJMN 2015-2019. Diakses pada 10/11/2016 pukul 19.53.
[5] Widjaja, Haw (2002). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Penulis mengartikan open and arrangement sebagai sistem dimana pemerintah (pusat) merincikan fungsi- fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi pemerintah. Sisa dari rincian fungsi pemerintah tersebut menjadi kompetensi daerah otonom.