About


Penyelengaraan negara, bagi sejumlah ilmuwan, membutuhkan adanya gerakan sosial berbasiskan komunitas lokal/ Civil Society Organisation (CSO) agar dapat menjadi elemen penyangga negara. Negara tidak hanya terdefinisi secara sempit sebagai tugas dari para pemangku kepentingan (dalam perspektif trias politica), tetapi juga membutuhkan internal resources lainnya, termasuk CSO.

Kebutuhan ini bukan tanpa sebab. Perkembangan studi pemerintahan dan perkembangan dinamis kebutuhan masyarakat bergerak dalam skala deret ukur dan deret hitung. Teorisasi birokrasi rasional weberian yang memuat prinsip rightsizing misalnya, ingin menunjukan salah satu kritalisasi nilai good government yakni efektifitas dan efisiensi. Prinsip ini menjadi pemicu lahirnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi instrumen birokrasi seperti e-era (e-government, e-budgeting,e-planing, dan sebagainya).

Sadar tidak sadar praktik ini secara perlahan mulai menunjuk pada differensiasi; birokrasi lama dan birokrasi baru, manual dan otomatis, orang tua dan kaum muda, dan sebagainya. Ekstrimnya lagi, differensiasi ini mulai mengarah pada eliminasi: tekstual ke virtual, manual ke robotics, bahkan Inteligence ke Artificial Inteligence.

Instrumen kepemerintahan berkembang pesat (deret ukur), namun menyisahkan persoalan baru ketika diterapkan pada lingkungan masyarakat yang belum siap dengan daya kejut perkembangan itu (masyarakat berkembang dalam deret hitung). Fenomena ini pun mengeliminasi masyarakat sebagai subyek, yang kemudian hanya menjadi penonton dari perubahan yang mengarah pada kompetisi itu.

Di beberapa wilayah di Indonesia, paradoks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu kental. Masyarakat maupun pemeirntah lokal belum mampu mem-break down gagasan perubahan yang ada, sehingga terjadi gap antara gagasan perubahan dan aksi yang dijalankan.

Narasi dari gap yang tercipta dapat terlihat dari beberapa kesulitan yang dialami oleh penyelenggara negara di tingkatan lokal dalam merespon gagasan pemerintah pusat. Hal ini terjadi di beberapa aspek kehidupan bernegara.

Di level pemerintahan, ada begitu banyak literatur jurnalistik dan penelitian yang menunjukan tingkat efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, terutama di tingkatan desa, yang mengalami kesulitan dalam menjalankan program yang menjadi titah peraturan perundang-undangan. Dalam 4 bidang kewenangannya, desa lebih banyak mengerjakan program pembangunan dan pemerintahan. Akan tetapi, program pemberdayaan dan pembinaannya seringkali menjadi Silpa anggaran di akhir tahun. Penyerapan anggaran yang minim serta ketimpangan orientasi pembangunan desa di masing-masing bidangnya menjadi cerminan inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan di aras lokal.

Di bidang pendidikan, pemerintah telah begitu baik menerapkan sistem pendidikan formal pada masyarakat. Akan tetapi, masih begitu banyak kelompok marginal yang belum mampu menyentuh pendidikan. Data unicef 2016 menunjukkan angka 2,5 juta jiwa tidak dapat mengenyam pendidikan. Angka putus sekolah yang masih tinggi ini tentunya menjadi alarm dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Indonesia juga secara umum masih dirundung permasalahan ekonomi dengan naik turunnya nilai mata uang Indonesia di kancah global. Sekalipun demikian, potensi ekonomi Indonesia cukup besar dengan 117,68 juta tenaga kerja dari total 250 juta jiwa. UMKM memang telah memberikan sumbangan kepada PDB sebesar 60,34 persen (data Kemenkop UKM). Namun sektor UMKM, menurut Asian Develophment Bank, belum memiliki peran bear dalam memberikan sumbangannya terhadap ekspor Indonesia yang hanya berada di angka 15,7 persen.

Di bidang kesehatan, The Legatum Prosperity Index 2017 melaporkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke 101indeks kesehatan global dari 149 negara. Secara umum, intervensi kesehatan di Indonesia masih dominan dengan upaya kuratif. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan sosialisasi dan pemicuan perilaku hidup sehat bagi masyarakat.

Bidang lain yang cukup memprihatinkan adalah sosial dan budaya. Impact positif dan negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Pubhing menjadi salah satu contoh fenomena modernisasi yang mengancam tatanan sosial dan budaya masyarakat. Untuk itu, masyarakat sosial perlu melakukan antisipasi agar sekiranya masyarakat bangsa masih tetap dapat mempertahankan norma, hukum adat, dan kebiasaan yang ada.

Kelima sektor ini menjadi keprihatinan yang penting untuk segera diintervensi. Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan kerja birokrasi pemerintah, tetapi juga membutuhkan daya dukung gerakan sosial masyarakat (CSO) sebagai elemen penunjang. Hal ini menjadi latar awal bagi kami untuk membentuk lembaga swadaya masyarakat yang berposisi sebagai mitra pemerintah dalam upaya untuk menciptakan gerakan sosial dan pangkaderan masyarakat agar dapat berdikari dalam menyelesaikan beragam problema kehidupan bernegara yang ada.

Change’O (Change Operator) didirikan dalam semangat kebersamaan kaum muda berupaya hadir sebagai external resources pemerintah untuk membantu melakukan break down program kepemerintahan dan menciptakan inovasi dengan memperhatikan kepentingan kaum marginal dalam setiap gerakannya.

Harapannya, Change’O dapat menjadi salah satu tiang penyangga gerakan sosial masyarakat yang dapat mendukung program pemabangunan inklusif berbasiskan masyarakat dengan metode pemberdayaan dan semangat gotong royong sehingga dapat terciptanya tatanan sosial masyarakat yang kokoh, berdikari, dan berkelanjutan (sustainibility).