Bere Dan Potret Konflik Laten Pemerintahan Desa
![]() |
Foto: Arischy Hadur |
Kasus pemberhentian perangkat desa melalui putusan kepala
desa Bere, Ignasius Beon berbuntut kontroversi panjang. Adrianus Paju,
perangkat desa yang tidak terima dengan keputusan itu sontak bereaksi
dengan membeberkan sejumlah argumentasi untuk menunjuk kejanggalan pada
putusan itu. Di sisi yang berbeda, kepala desa dan pihak kecamatan tetap
pada posisinya, Adrianus harus diberhentikan.
Pihak kecamatan (diakui oleh kedua pihak) telah melakukan
investigasi atas pengajuan pemberhentian perangkat desa Bere oleh kepala
desa. Akan tetapi, Adrianus meragukan validasi investigasi, dan
memainkan bola baru “ada perangkat desa yang telah dipenjara dan tetap
menerima gaji. Bahkan, ia diaktifkan kembali sebagai perangkat desa
pasca kasus tersebut.
Informasi tentang dasar pemberhentian Adrianus memang belum rinci. Namun ada dua alasan utama pemberhentian, berdasarkan informasi media daring yang diperoleh penulis, yakni: (i) intensitas kehadiran Adrianus di kantor desa yang minim, dan (ii) tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa.
Informasi tentang dasar pemberhentian Adrianus memang belum rinci. Namun ada dua alasan utama pemberhentian, berdasarkan informasi media daring yang diperoleh penulis, yakni: (i) intensitas kehadiran Adrianus di kantor desa yang minim, dan (ii) tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa.
Argumentasi Pemberhentian Adrianus
Merujuk pada aturan pemberhentian, Adrianus masuk dalam kategori
diberhentikan, dengan alasan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
perangkat desa (Pasal 5 Permendagri 67/2017). Yang membingungkan adalah
apakah yang dimaksud adalah persyaratan pengangkatan, ataukah
persyaratan profesionalisme yang hilang dari perangkat saat menjabat.
Sayangnya, dalam Perda Manggarai 1/2016 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Perangkat Desa, pasal ini tidak dijabarkan lagi. Tidak
heran ketika bagian ini dibaca sebagai hak prerogatif, atau dalam sudut
pandang berbeda dibaca sebagai kesempatan terhadap celah aturan.
Tergantung siapa yang membaca kasus ini.
Alasan lain pemberhentian Adrianus adalah presensi kehadiran di
kantor yang rendah. Maka dapat disimpulkan, Kepala Desa dan pihak
kecamatan menggunakan dalil “meninggalkan tugas selama 60 hari tanpa
alasan jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Namun yang pasti,
alasan rinci pemberhentian perangkat desa Bere, Adrianus, pastinya ada
dalam naskah pengajuan pemberhentian kepala desa dan rekomendasi pihak
kecamatan, namun sekali lagi informasinya belum dibuka secara rinci
dalam pemberitaan media.
Terkait perangkat desa yang dipenjara dan tetap menerima gaji, serta
dikembalikan jabatannya; kemungkinan kasus ini masuk dalam kategori
pemberhentian sementara.
Pemberhentian sementara perangkat desa terjadi pada perangkat yang
ditetapkan sebagai tersangka, dinyatakan sebagai terdakwa, tertangkap
tangan dan ditahan, serta melanggar larangan sebagai perangkat desa
(pasal 6). Dalam turunan aturan Perda Manggarai No 1/2016 tentang
Perangkat Desa, perangkat desa yang diberhentikan sementara tetap berhak
menerima penghasilan tetap (Siltap). Jadi, Adrianus dan forum LKPPD
Desa Bere perlu menelusuri, apakah perangkat desa yang dipenjara itu
diberhentikan atau diberhentikan sementara.
Juga, jika perangkat desa tersebut telah diputus bebas atau terbukti
tidak bersalah oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, maka
jabatannya dapat dikembalikan. Terkecuali untuk terdakwa yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
Maka dari itu, data argumentasi yang dilempar kepada publik harus berdasarkan aturan-aturan ini. Lagi-lagi, penulis tidak mendapatkan keterangan rinci terkait perangkat desa yang dipenjara dan dikembalikan jabatannya tersebut.
Terkait argumentasi Adrianus bahwa dirinya diberhentikan tanpa
didahului peringatan/teguran, perlu dipahami bahwa pemberhentian
Adrianus bukanlah masalah administratif. Masalah administratif yang
dimaksud adalah pelanggaran akan larangan sebagai perangkat desa yang
mencakup: a.merugikan kepentingan umum, b. membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, keluarga, pihak/golongan tertentu,
c.melakukan tindakan diskriminatif, d. melakukan tindakan yang
meresahkan masyarakat desa, e. menjadi pengurus partai politik, dan f.
terlibat dalam kampanye politik Pemilu/Pilkada (Pasal 20 Perda 1/2016
Manggarai ). Jika alasan pemberhentian Adrianus seperti yang dikemukakan
oleh Kepala Desa dan pihak kecamatan (tidak lagi memenuhi syarat
sebagai perangkat dan kehadiran), maka sanksi administratif tidak
berlaku.
Terlepas dari perdebatan yang bersifat teknokratis, Kepala Desa Bere dan pihak kecamatan pun seharusnya melakukan upaya persuasif sebagaimana dipahami dalam sistem pengendalian internal pemerintahan. Sebab, kecamatan memiliki peran bimbingan dan pengawasan (binwas) terhadap pemerintah desa.
Bere Sebagai Potret
Kita perlu menyadari bahwa Bere merupakan contoh dari desa-desa
lainnya di Manggarai yang menyimpan bahaya laten untuk mengalami masalah
yang serupa.
Penulis, bersama Lembaga Change Operator menemukan permasalahan yang sama di hampir setiap desa di Manggarai Raya, terutama perihal kehadiran perangkat desa di kantor desa, juga penggunaan instrumen kepemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan. Hasil analisis observasi yang dilakukan, perangkat desa tidak masuk kantor karena beberapa alasan berikut: Pertama, jedah waktu pencairan dana desa dan alokasi dana desa. Jedah waktu ini terjadi karena adanya selisi periodisasi waktu antara siklus tahunan desa dan dikeluarkannya juknis penggunaan dana desa pada tahun berkenaan. Akibatnya, ada waktu dimana desa menunggu uang cair, dan persis pada saat itu, tidak ada aktivitas program di kantor desa. Ini salah satu sebab dari banyaknya perangkat desa tidak masuk kantor.
Penulis, bersama Lembaga Change Operator menemukan permasalahan yang sama di hampir setiap desa di Manggarai Raya, terutama perihal kehadiran perangkat desa di kantor desa, juga penggunaan instrumen kepemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan. Hasil analisis observasi yang dilakukan, perangkat desa tidak masuk kantor karena beberapa alasan berikut: Pertama, jedah waktu pencairan dana desa dan alokasi dana desa. Jedah waktu ini terjadi karena adanya selisi periodisasi waktu antara siklus tahunan desa dan dikeluarkannya juknis penggunaan dana desa pada tahun berkenaan. Akibatnya, ada waktu dimana desa menunggu uang cair, dan persis pada saat itu, tidak ada aktivitas program di kantor desa. Ini salah satu sebab dari banyaknya perangkat desa tidak masuk kantor.
Kedua, pemahaman akan tugas pokok dan fungsi perangkat. Keterbatasan
akses informasi dan pengetahuan akan tugasnya sebagai perangkat cendrung
membuat para perangkat desa enggan berada di kantor desa. Mereka merasa
tidak ada yang dikerjakan, ataupun urgent untuk dikerjakan.
Dalam beberapa kasus, kerja pemerintahan di desa biasanya dilakukan
oleh orang yang dianggap mampu, dan perangkat lain hadir sebagai
pelengkap. Atas dasar ini, ada keengganan untuk hadir di kantor desa,
karena merasa tidak terlalu dibutuhkan. Semoga saja, yang terjadi di
desa Bere, tidak karena kedua alasan diatas. Kita tidak dapat menafikan
bahwa masih banyak alasan lain yang melatari ketidaksdisiplinan
perangkat desa. Namun yang ingin disampaikan adalah: banyak masalah di
desa yang tidak hanya disebkan oleh desa itu sendiri.
Perlu adanya SOP
Kembali ke desa Bere, penulis menduga, kepala desa Bere belum membuat
Peraturan Kepala Desa (Perkades) tentang Standar Operasional Prosedur
(SOP) di lingkup wilayah pemerintahannya. Jika menafsir pemberitaan
media, kedua pihak terlihat kesulitan membeberkan alasan pemberhentian
ataupun penolakan pemberhentian. Salah satu point penting SOP adalah
disiplin kepegawaian. Jika SOP ini ada, tentunya tidak akan ada
keributan tentang absen perangkat desa di kantor desa seperti “saya
sering masuk”, atau, “kenapa cuma saya yang diberhentikan, yang lain
juga tidak masuk”; tanpa ada dasaran yang jelas.
SOP dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan kepala desa terkait kinerja kepegawaian dalam lingkup pemerintah desa. Turunannya dapat dalam berbagai bentuk intrumen seperti daftar hadir, jadwal piket, dasar keputusan pemberian reward ataupun punishment kepada pegawai, sampai pada instrumen yang membuktikan bahwa perangkat desa tidak hadir selama 60 hari di kantor. Ini menjadi resmi dan berkekuatan hukum karena dituangkan dalam dokumen peraturan di desa. Maka, konsideran keputusan kepala desa terhadap pemberhentian perangkat desa pun akan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Tentunya, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan diatasnya.
Secara umum, masih banyak desa di Manggarai Raya yang abai dengan hal- hal semacam ini. Perlu dipahami bahwa sistem kebijakan dibuat berdasarkan hasil evaluasi empirik terhadap problem yang muncul. Jika sistem itu diabaikan, maka akan menjadi konflik laten dan bom waktu yang sesekali akan meledak untuk alasan tertentu, termasuk politik.
Upaya penyelesaian konflik laten pemerintahan desa perlu diantisipasi
dan ditindaklanjuti oleh seluruh elemen pemerintahan, baik daerah
maupun desa, serta masyarakat dan lembaga pegiat desa. Sebab, jika
menggunakan logika “membangun desa” dan “desa membangun”, maka semua
pihak tentunya patut disalahkan atas konflik di desa Bere.
Catatan: Perda Manggarai tentang perangkat desa telah diajukan draft
perubahannya, merespon perubahan Permendagri 67/2017 mengganti
Permendagri 83/2015. Berdasarkan draft rancangan yang diperoleh penulis,
pembahasan pasal menyangkut masalah di desa Bere masih kontekstual
dengan Perda sebelumnya.**
Oleh Hilarian Arischy Hadur
(Direktur Policy Research Organisation Change Operator Manggarai)*
**Tulisan ini pernah di Muat di Media Beritafajartimur.com https://beritafajartimur.com/2019/06/06/bere-dan-potret-konflik-laten-pemerintahan-desa/